KEMUDAHAN DI BALIK KESUSAHAN
Oleh Alm. Prof. Dr. Rifyal Ka'bah, M.A.
"Kami sesungguhnya telah banyak sekali memberimu. Karena itu, lakukankah shalat untuk Tuhanmu dan berkorbanlah. Sebenarnya pembencimu itu adalah orang yang putus harapan." (al-Kawtsar 1-2).
Hampir setiap muslim, bahkan anak-anak, hafal akan ayat-ayat di atas. Kata "kamu" (mu) di sini tertuju kepada Nabi Muhammad sebagai penerima ayat itu dari Allah. Banyak sekali yang sudah diberikan oleh Allah kepada beliau dan kepada seluruh umat manusia. Anugerah yang tidak terhingga itu antara lain diterangkan dalam surah adh-Dhuhaa.
"Bukankah Ia menemukanmu dalam keadaan yatim, lalu Ia melindungimu. Ia menemukanmu sesat, lalu Ia memberimu petunjuk. Ia menemukanmu miskin, lalu Ia memberimu kecukupan. Karena itu, anak yatim jangan kamu perlakukan dengan kasar. Orang peminta janganlah kamu hardik. Sedangkan nikmat Tuhan yang kamu terima, ingat dan bicarakanlah!" (adh-Dhuhaa 6-12).
Masa kecil dan remaja Nabi Muhammad dilalui sebagai anak yatim. Ayah beliau meninggal dunia di saat beliau masih di rahim ibu. Pada waktu berumur lima atau enam tahun, di saat sedang memerlukan kasih sayang ibu yang lebih, ibu beliau dipanggil ke rahmatullah. Kemudian beliau diasuh secara berpindah tangan dari Ibu Susu Halimah, ke Kakek 'Abdul Muthalib, dan kemudian ke Paman Abu Thalib. Anak yatim tanpa saudara dan tanpa peninggalan harta biasanya cenderung hidup terlunta-lunta menunggu belas kasihan orang lain. Hal ini tidak terjadi pada diri Rasulullah, bahkan beliau tumbuh dengan kepribadian yang sangat kokoh dan menawan hati. Kenapa hal itu bisa terjadi? Bukankah itu karena rencana Allah dan karunia-Nya yang tak terhingga?
Sebelum mendapat petunjuk Allah dan diangkat jadi sebagai rasul, Nabi Muhammad memang bingung. Beliau bingung menyaksikan masyarakat Arab. Masyarakat di sekitar beliau betul-betul masyarakat bodoh, masyarakat 'jahiliyyah'. Dalam bidang keagamaan, mereka percaya kepada adanya Allaj, tetapi dalam prakteknya, mereka menyembah patung berhala, bintang, bulan, kekuatan ghaib, dan lain-lain. Dalam bidang sosial, anggota masyarakat yang kuat menerkam anggota yang lemah. Dalam bidang hubungan pria-wanita, wanita menjadi pemuad hawa nafsu kaum pria. Mereka suka kepada perempuan muda, tetapi bila mendapat anak perempuan, mereka mencekiknya seketika sewaktu lahir ke dunia atau menguburnya hidup-hidup sebelum sempat melihat dunia. Dalam bidang ekonomi, transaksi riba menjadi-jadi, dan kecurangan dalam bisnis terjadi setiap waktu. Beliau bingung dengan semua itu, dan inilah yang mendorong beliau untuk melakukan 'tahannus' di bulan Ramadhan setiap tahun menjelang usia empat puluh tahun. Tahannus adalah kebiasaan menyendiri dengan menenangkan indera di tempat sepi agar nurani dan pikiran terbuka di delan Allah. Kebiasaan ini sering juga dilakukan oleh tokoh-tokoh masyarakat Arab yang ingin mencari petunjuk dari Allah. Malaikat Jibril menyampaikan wahyu pertama kepada beliau di gua Hira'.
Sebagai anak yatim, Nabi Muhammad sedari kecil memang ditakdirkan miskin. Kemiskinanlah yang memaksa beliau untuk menggembalakan ternak, membantu usaha kakek dan paman beliau, dan mendorong beliau untuk mengurus bisnis janda kaya, Khadijah binti Khuwsilif. Keadaan kemudian berubah. Kondisi berkekurangan kemudian diganti oleh Allah dengan kondisi berkecukupan. Di saat beliau tidak menginginkan kehidupan keduniaan yang megah, dunia datang kepada beliau dengan sendirinya. Sebagai Rasul dan Kepala Negara, kekayaan dunia memang berada di tangan beliau.
Allah mengingatkan beliau dan mengingatkan umat beriman, termasuk kita supaya mengenal asal usul dan masa lalu kita. Dulunya kita yatim, sendirian, tanpa pelindung, tetapi sekarang telah menjadi orang. Dulunya barangkali dunia ini gelap di hadapan kita, tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah, tetapi sekarang kita telah melihat cahaya terang. Pendidikan berhasil. Keluarga berhasil. Karir brrhasil. Dulunya barangkali kita miskin, selalu membutuhkan bantuan orang, tetapi sekarang telah hidup berkecukupan dan bahkan melebihi kebutuhan sekian ratus kali lipat.
Dengan suasana yang telah berubah ini, Nabi Muhammad dan kita semua diminta untuk tidak lupa diri. Jangan sia-siakan anak yatim. Jangan kecewakan orang yang sedang membutuhkan bantuan. Sebut dan ingatlah betapa besarnya karunia Allah kepada kita dalam kehidupan ini. Intinya adalah supaya tetap menyembah Allah dan berkorban untuk kepentingan saudara-saudara kita sesama manusia dan sesama muslim.
"Karena itu, shalatlah untuk Tuhan-mu, sembahlah Dia, dan berkorbanlah!"
Bila iti dilakukan, tantangan yang kita hadapi, orang yang selalu bermusuhan kepada kita, orang yang benci dan tidak suka kepada kita, akan hancur dengan sendirinya, akan putus asa.
"Sebenarnya pembencimu itu adalah orang yang putus harapan".
Pertanyaan serupa yang mengguncang hati dan pikiran yang ditujukan kepada Nabi Muhammad juga terdapat dalam suraf asy-Syarh (kelapangan hati dan pikiran) atau al-Insyirah (keterbukaan hati dan pikiran).
"Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu. Kami singkirkan darimu bebanmu, yang telah memberatkan punggungmu. Kami telah mengangkat untukmu namamu. Hal itu, karena dalam kesulitan itu sesungguhnya terdapat kemudahan. Karena itu, bila kamu telah menyelesaikan satu tugas, teruslah bekerja dengan keras, dan berharaplah kepada Tuhanmu." (asy-Syarh 1-8).
Dalam tugas keduniaan dan kenabiaan beliau, Nabi Muhammad banyak mendapat kesulitan dan tantangan. Beliau pernah merasakan dada yang sempit dan menahan beban yang berat. Beliau pernah dikucilkan, diblokade, disiksa, dikejar-kejar, dan diperangi. Dada siapa yang tidak akan sempit bila kebaikan dibalas dengan kejahatan. Beban apa yang lebih berat dari beban batin dilempari dengan kotoran manusia, dengan batu, dan dengan caci maki. Namun semua beban mental dan fisik ini tidak sedikit pun mengurangi tekad dan kesungguhan beliau untuk terus berjuang demi kebahagiaan dan kesejahteraan umat beliau. Bagaimanapun beratnya tantangan dan tugas yang dihadapi, beliau tetap berharap kepada Allah Yang Maha Kuasa atas segalanya. Ternyata di balik kesusahan itu ada kemudahan. Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Intinya adalah tabah, berjuang, pantang kalah, dan tetap mengharapkan keberhasilan kepada Allah.
Seperti disebutkan terdahulu, kata "kamu" dalam ayat-ayat di atas ditujukan kepada Nabi Muhammad sebagai penerima wahyu dan utusan Allah. Sungguhpun demikian, ayat-ayat itu tidaklah khusus untuk beliau. Pesan itu sesungguhnya adalah untuk umat beliau dan seluruh umat manusia. Beliau diutus Allah srbagai rahmat bagi seluruh alam.
Pepatah kita mengatakan: "Ditembak lantai, kena hidung!" Pepatah Arab juga mengatakan: "Dengan berbicara kepada dinding, yang dimaksud adalah tetangga yang berada di balik dinding." Bila sang menantu sedang makan siang atau malam, lalu sang mertua yang sedang mengusir kucing di dapur mengatakan dengan suara keras: "Kucing ini kerjanya hanya makan ke makan saja dan tidak sanggup menangkap tikus yang berkeliaran."
Maksud yang dituju dengan pembicaraan itu sebenarnya bukanlah kucing yang sedang diomeli oleh sang mertua, tetapi adalah sang menantu yang malas bekerja dan terlalu senang berlama-lama menikmati tinggal gratis di rumah "mertua indah".
Ayat-ayat Allah di atas berbicara untuk kita semua, yang barangkali pernah yatim, kehilangan pegangan, miskin, sesak dada, dan menanggung beban berat, tetapi sekarang telah menjadi orang, mantap dalam hidupnya, kaya, bahagia, dan terbebas dari beban yang berat. 'Abdullah Yusuf 'Ali dalam menafsirkan ayat di atas mengatakan bahwa setiap orang pasti pernah merasakan yatim, sesat atau miskin dalam hidupnya. Sekalipun tidak yatim ditinggal ayah-bunda, setidak-tidaknya kita pernah merasa yatim karena ditinggal oleh seseorang yang kita dambakan. Sekalipun tidak sesat dalam pengertian kafir atau murtad, setidak-tidaknya kita pernah menempuh jalan yang salah dalam hidup ini. Sekalipun tidak miskin harta dalam pengertian tidak berpunya sama sekali, setidak-tidaknya kita pernah merasa kekurangan dalam hidup ini.
Kita sebenarnya diminta untuk bercermin untuk membandingkan masa sekarang kita dengan masa lalu kita. Lihatlah diri dan asal usul kita. Ingatlah nikmat Allah tak terhingga yang telah kita terima, yang telah membalikkan keadaan dari satu sisi yang tidak kita sukai kepada sisi lain yang kita kehendaki.
_______
*Dalam buku Partai Allah, Partai Setan, Agama Raja, Agama Allah. Bunga Rampai Pemikiran. Prof. Dr. Rifyal Ka'bah, M.A. Suluh Press, Jokyakarta, 2005.